14.25

Seputar Beberapa Hadist Mengenai Kepedulian Sosial


A. Masalah
            Manusia memang tidak akan pernah lepas dari apa yang disebut sosial. Karena memang manusia itu merupakan makhluk sosial, makhluk yang memerlukan orang lain, berkomunikasi dengan sesama, bertukar pikiran, tolong-menolong dan lain sebagainya. Dalam pandangan Islam seseorang tidak akan dikatakan sempurna imannya sampai ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri. Kendatipun pandangan Islam sudah demikian benar, namun kenyataannya masih banyak orang yang apatis, kurang peka terhadap permasalahan sosial sekarang ini sehingga tatanan sosial menjadi kurang seimbang yang akhirnya terjadilah banyak kekacauan seperti pencurian, perampokan, pembunuhan, jual beli manusia dan lain sebagainya yang mungkin saja hal ini terjadi yang disebabkan salah satunya karena faktor para agniya kurang peduli terhadap permasalahan sosial ataupun pihak pemerintah belum mampu mengentaskan permasalahan pengangguran, juga bisa jadi karena orang yang miskin pun kurang memiliki mental yang positif apalagi saat ini dunia sedang terhegemoni oleh pemikiran barat yang sekular dan liberal. Sangat ironis memang jika sifat apatis terhadap sosial itu dimiliki oleh orang Islam. 
            Nah, pada kesempatan kali ini penulis akan membahas mengenai kepedulian sosial dalam presfektif hadits Rasulullah Saw. yang akan dibahas di bawah ini :

B. Teks dan Terjemah Hadits

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ نَفَسَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَ نَفَّسَ اللهُ عَنْ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِى الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ فِى الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ وَاللهُ فِى عَوْنِ الْعَبْدِ مَاكَانَ الْعَبْدُ فِى عَوْنِ أَخِيْهِ. (أخرجه مسلم)

 “Dari Abu Hurairoh berkata, Rasulullah SAW. Bersabda, ‘’barang siapa melepaskan dari seorang muslim satu kesusahan dari kesusahan-kesusahan di dunia, niscaya Allah melepaskan dia dari kesusahan-kesusahan hari kiamat. Dan barang siapa member kelonggaran kepada orang yang susah, niscaya Allah akan member kelonggaran baginya di dunia dan akhirat; dan barang siapa menutupi aib seorang muslim,  niscaya Allah menutupi aib diadi dunia dan di akhirat. Dan Allah selamanya menolong hamba-Nya, selama hambanya menolong saudaranya. (H.R.Muslim)

C. Penjelasan Hadits:
            Hadits di atas mengajarkan kepada kita untuk selalu memperhatikan sesame muslim dan memberikan pertolongan jika seseorang mendapatkan kesulitan.

            1. Melepaskan berbagai kesusahan orang mukmin
            Melepaskan kesusahan orang lain sangat luas maknanya, bergantung pada kesusahaan yang diderita oleh saudarnya seiman tersebut. Jika saudaranya termasuk orang miskin, sedangkan ia termasuk orang berkecukupan atau kaya, ia harus berusaha menolongnya dengan cara memberikan pekerjaan atau memberikan bantuan sesuai kemampuannya; jika saudaranya sakit, ia berusaha menolongnya, antara lain dengan membantu memanggilkan dokter atau memberikan bantuan uang alakadarnya guna meringankankan biaya pengobatannya; jika saudaranya dililit utang, ia berusaha untuk mencarikan jalan keluar, baik dengan memberikan bantuan agar utangnya cepat dilunasi, maupun sekedar memberikan arahan-arahan yang akan membantu saudaranya dalam mengatasi utangnya tersebut dan lain-lain.
          Orang muslim yang membantu meringankan atau melonggarkan kesusahan saudaranya seiman berarti telah menolong hamba Allah SWT yang sangat disukai oleh-Nya dan Allah SWT pun akan memberikan pertolongannya serta menyelamatkannya dari berbagai kesusahan, baik di dunia maupun di akhirat. Sebagaiman firmannya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
 “Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.’’ [QS. Muhammad : 7]

            Begitupula orang yang membantu kaum muslimin agar terlepas dari berbagai cobaan dan bahaya, ia akan mendapat pahala yang lebih besar dari Allah SWT DAN Allah pun akan melepaskannya dari berbagai kesusahan yang akan dihadapinya, baik di dunia maupun di akhirat kelak, pada hari ketika harta benda, anak, maupun benda-benda yang selama ini dibanggakan di dunia tidak lagi bermanfaat.pada waktu itu hanya pertolongan Allah saja yang akan menyelamatkan manusia.
           Berbahagialah bagi mereka yang bersedia untuk melepaskan penderitaan sesame orang mukmin karena pada hari kiamat nanti, Allah akan menyelamatkannya.

            2. Melonggarkan kesusahan orang lain
        Adakalanya suatu masalah sangat sulit untuk diatasi atau hanya dapat diselesaikan oleh yang bersangkutan. Terhadap masalah seperti itu, seorang mukmin ikut melonggarkannya atau memberikan pandangan dan jalan keluar, meskipun ia sendiri tidak terlibat secara langsung. Bahkan, dengan hanya mendengarkan keluhannya saja sudah cukup untuk mengurangi beban yang dihadapi olehnya.
            Dengan demikian, melonggarkan kesusahann orang lain haruslah sesuai dengan kemampuan saja, dan bergantung kepada kesusahan apa yang sedang dialami oleh saudaranya seiman tersebut. Jika mampu meringankan kesusahannya dengan memberikan materi, berilah materi kepadanya. Dengan demikian, kesusahannya dapat berkurang, bahkan dapat teratasi. Namun jika tidak memiliki materi, berilah saran atau jalan keluar agar masalah yang dihadapinya cepat selesai. Bahkan jika tidak mempunyai idea tau saran, doakanlah agar kesusahannya dapat segera diatasi dengan pertolongan Allah SWT. Termasuk doa paling baik jika mendoakan orang lain dan orang yang didoakan tidak mengetahuinya.

            3. Menutupi aib seorang mukmin serta menjaga orang lain dari berbuat dosa
            Orang mukmin pun harus berusaha menutupi aib saudaranya. Apalagi jika ia tahu bahwa orang yang bersangkutan tidak akan senang kalau aaib atau rahasianya diketahui oleh orang lain. Namun demikian, jika aib tersebut berhubungan dengfan kejahatan yang dilakukannya, ia tidak boleh menutupinya. Jika hal itu dilakukan, berarti ia telah menolong orang lain dalam hal kejahatan sehingga orang tersebut terhindar dari hukuman. Perbuatan seperti itu sangat dicela dan tidak dibenarkan dalam Islam. Sabda Nabi Muhammad SAW “Barangsiapa yang menutupi aib seorang muslim” maksudnya menutupi aib orang yang baik, bukan orang-orang yang telah dikenal suka berbuat kerusakan. Hal ini berlaku dalam kaitannya dengan dosa yang telah terjadi dan telah berlalu.
      Namun apabila kita melihat suatu kemaksiatan dan sesorang sedang mengerjakannya maka wajib bersegera untuk mencegahnya dan menahannya. Jika dia tidak mampu, boleh baginya melaporkannya kepada penguasa jika tidak dikhawatirkan muncul mafsadah (yang lebih besar).
            Terhadap orang yang telah terang-terangan melakukan maksiat tidaklah perlu ditutup-tutupi karena menutup-nutupinya menyebabkan ia melakukan kerusakan dan bebas menganggu serta melanggar hal-hal yang ham dan akhirnya dapat menarik orang lain untuk melakukan sebagaimana yang ia lakukan. Bahkan hendaknya ia melaporkannya kepada penguasa jika tidak dikhawatirkan timbulnya mafsadah.

            4. Allah SWT senantiasa akan menolong hamba-Nya, selagi hamba itu menolong             saudaranya.

            Jika ditelaah secara seksama, pertolongan yang diberikan seorang mukmin kepada saudaranya, pada hakikatnya adalah menolong dirinya sendiri. Hal ini karena Allah pun akan menolongnya, baik di dunia maupun di akhiratselama hamba-Nya mau menolong saudaranya. Dengan kata lain, ia telah menyelamatkan dirinya sendiri dari berbagai kesusahan dunia dan akhirat.
         Maka orang yang suka menolong orang lain, misalnya dengan memberikan bantuan materi, hendaknya tidak merasa khawatir bahwa ia akan jatuh miskin atau ditimpa kesusahan. Sebaliknya, dia harus berpikir bahwa segala sesuatu yang ia miliki adalah miliki Allah SWT. Jika Dia bermaksud mengambilnya maka harta itu habis. Begitu juga jika Allah bermaksud menambahnya, maka seketika akan bertambah banyak.
          Mereka yang suka menolong orang lain dijanjikan akan mendapat penggantinya sesuai perbuatannya, baik di dunia maupun di akhirat. Tentu saja dalam memberikan pertolongan kepada orang lain jangan berlebihan.
            Sebenarnya inti dari Hadits di atas adalah agar umat Islam memiliki kepedulian dan kepekaan social atas saudara-saudaranya seiman. Dalam Islam berlaku egois atau hanya mementingkan diri sendiri tidak dibenarkan.
           Beberapa syariat Islam seperti zakat fitrah, antara lain dimaksudkan untuk memupuk jiwa kepedulian terhadap sesame mukmin yang berada dalam kemiskinan.
Sebagaimana dinyatakan dalam Hadits:

Artinya : “Rasulullah saw mewajibkan zakat fitrah sebagai pembersih untuk orang yang shaum dari ucapan dan perbuatan yang tidak baik dan sebagai jamuan bagi orang miskin.’’ (H.R. Abu Dawud)

        Orang yang memiliki kedudukan atau harta yang melebihi orang lain, hendahknya tidak menjadikannya sombong atau tinggi hati serta tidak mau menolong orang yang sangat membutuhkan pertolongannya. Pada hakikatnya, Allah SWT menjadikan adanya perbedaan seseorang dengan yang lainnya adalah untuk saling melengkapi, saling membantu, dan saling menolong satu sama lain. Sebagaimana ditegaskan dalam firmannya :

أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَةَ رَبِّكَ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا وَرَحْمَةُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ

 ‘’Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.’’

            Alawi Abbas al-Maliki dan Hasan Sulaiman al-Nuri dalam kitabnya “Ibanatul Ahkam Syarh Bulughul Maram” menjelaskan yang terjemahannya :

Makna Hadits
Pahala yang bakal diterima oleh seseorang di akhirat kelak merupakan ganjaran di atas segala apa yang dilakukannya semasa hidup di dunia, bahkan dia bakal memperoleh ganjaran yang lebih besar daripada apa yang diamalkan ketika di dunia. Apatah lagi jika perbuatan di dunia adalah meringankan kesusahan saudaranya sesama muslim dan merahsiakan aibnya. Hadis ini mengajarkan kita bahawa barangsiapa ingin Allah (s.w.t) sentiasa menolong dan memberinya taufik, maka hendaklah orang itu sentiasa membantu saudaranya sesama muslim.

Fiqih Hadits

1. Orang yang melapangkan kesusahan saudaranya sesama muslim memperoleh ganjaran pahala di sisi Allah seperti seseorang yang member pinjaman hutang lalu memberi hutang yang sudah tidak mampu lagi dibayarnya itu.
2. Orang yang meringankan kesulitan orang lain mendapat ganjaran pahala di sisi Allah.

3. Orang yang menutup aib saudaranya sesama muslim mendapat ganjaran pahala di sisi Allah. Namun ada sebahagian aib yang tidak boleh ditutupi seperti jika bahaya daripada aib itu boleh menjangkiti orang lain. Contohnya, ada seorang lelaki peminum arak lalu mengajak anaknya turut minum arak, maka perkara ini wajib dlaporkan kepada hakim dan tidak boleh ditutupi.

4. Allah (s.w.t) menolongi hamba-Nya selama hamba itu mahu bersedia menolong saudaranya.

D. Hadits Yang Berhubungan

            1. Memberi Lebih Baik Daripada Meminta
            a. Teks dan Terjemah Hadits

حَدِيْثُ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ، وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ وَذَكَرَ الصَّدَقَةَ وَالتَّعَفُّفَ وَالْمَسْئَلَةَ: اَلْيَدُ الْعُلْيَى خَيْرٌ مِّنَ الْيَدِ السُّفْلَى، فَالْيَدُ الْعُلْيَى هِيَ الْمُنْفِقَةُ وَالسُّفْلَى هِيَ السَّائِلَةُ (أخرجه البخارى فى : 24 كتاب الزكاة: 18 – لاصدقة إلاّ عن ظهر غنى

Ibnu Umar ra. Berkata, “Ketika Nabi saw. Berkhotbah di atas mimbar dan menyebut sedekah dan minta-minta, beliau bersabda, ”Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah, tangan yang di atas memberi dan tangan yang di bawah menerima.”

            b. Penjelasan Hadits
            Islam sangat mencela orang yang mampu untuk berusaha dan memiliki badan sehat, tetapi tidak mau berusaha, melainkan hanya menggantungkan hidupnya pada orang lain. Misalnya, dengan cara meminta-minta. Keadaan seperti itu sangat tidak sesuai dengan sifat umat Islam yang mulia dan memiliki kekuatan, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya:
وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ
Kekuatan itu bagi Allah, bagi rasul-Nya dan bgai orang-orang yang beriman (QS. Al-Munafiqun:8)

         Dengan demikian, seorang peminta-peminta, yang sebenarnya mampu mencari kasab dengan tangannya, selain telah merendahkan dirinya, ia pun secara tidak langsung telah merendahkan ajaran agamanya yang melarang perbuatan tersebut. Bahkan ia dikategorikan sebaga kufur nikmat karena tidak menggunakan tangan dan anggota badannya untuk berusaha mencari rezeki sebagaimana diperintahkan syara’. Padahal Allah pasti memberikan rezeki kepada setiap makhluk-Nya yang berusaha. Allah swt berfirman:
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh). (QS. Hud:6)

         Dalam hadits dinyatakan dengan tegas bahwa tangan orang yang di atas (pemberi sedekah) lebih baik daripada tangan yang di bawah (yang diberi). Dengan kata lain, derajat orang yang pemberi lebih tinggi daripada derajat peminta-minta. Maka seyogyanya bagi setiap umat Islam yang memiliki kekuatan untuk mencari rezeki, berusaha untuk bekerja apa saja yang penting halal.
          Bagi orang yang selalu membantu orang lain, di samping akan mendapatkan pahala kelak di akherat, Allah jug akan mencukupkan rezekinya di dunia. Dengan demikian, pada hakekatnya dia telah memberikan rezekinya untuk kebahagiaan dirinya dan keluarganya. Karena Allah swt. Akan memberikan balasan yang berlipat dari bantuan yang ia berikan kepada orang lain.
          Orang yang tidak meminta-minta dan menggantungkan hidup kepada orang lain, meskipun hidupnya serba kekurangan, lebih terhormat dalam pandangan Allah swt. dan Allah akan memuliakannya akan mencukupinya. Orang Islam harus berusaha memanfaatkan karunia yang diberikan oleh Allah swt, yang berupa kekuatan dan kemampuan dirinya untuk mencukupi hidupnya disertai doa kepada Allah swt.
        Adanya kewajiban berusaha bagi manusia, tidak berarti bahwa Allah swt. tidak berkuasa untuk mendatangkan rezeki begitu saja kepada manusia, tetapi dimaksudkan agar manusia menghargai dirinya sendiri dan usahanya, sekaligus agar tidak berlaku semena-mena atau melampaui batas, sebagaimana dinyatakan oleh Syaqiq Ibrahim dalam menafsirkan ayat:

وَلَوْ بَسَطَ اللَّهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِي الْأَرْضِ وَلَكِنْ يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ بِعِبَادِهِ خَبِيرٌ بَصِيرٌ
Dan jikalau Allah melapangkan rezki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya dia Maha mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat (QS. Asy-Syura:27).
           Menurutnya, seandainya Allah swt., memberi rezeki kepada manusia yang tidak mau berusaha, pasti manusia semakin rusak dan memiliki banyak peluang untuk berbuat kejahatan. Akan tetapi, Dia Mahabijaksana dan memerintahkan manusia untuk berusaha agar manusia tidak banyak berbuat kerusakan.

2. Larangan Hidup Individualistis
            a. Teks dan Terjemah Hadits

عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَيُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَايُحِبُّ لِنَفْسِهِ. (رواه البخارى ومسلم وأحمد والنسائى
Anas ra. berkata, bahwa Nabi saw. bersabda, “Tidaklah termasuk beriman seseorang di antara kami sehingga mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri”. (H.R. Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Nasa’i)

            b. Penjelasan Hadits
            Sikap individualistis adalah sikap mementingkan diri sendiri, tidak memiliki kepekaan terhadap apa yang dirasakan oleh orang lain. Menurut agama, sebagaimana di sampaikan dalam hadits di atas adalah termasuk golongan orang-orang yang tidak (smpurna) keimanannyanya.
            Seorang mukmin yang ingin mendapat ridla Allah swt. Harus berusaha untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang diridai-Nya. Salah satunya adalah mencintai sesama saudaranya seiman seperti ia mencintai dirinya, sebagaimana dinyatakan dalam hadits di atas.
Namun demikian, hadits di atas tidak dapat diartikan bahwa seorang mukmin yang tidak mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri berarti tidak beriman. Maksud pernyataan لاَيُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ pada hadits di atas, “tidak sempurna keimanan seseorang” jika tidak mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri. Jadi, haraf nafi لاَ pada hadits tersebut berhubungan dengan ketidaksempurnaan.
        Hadits di atas juga menggambarkan bahwa Islam sangat menghargai persaudaraan dalam arti sebenarnya. Persaudaraan yang datang dari hati nurani, yang dasarnya keimanan dan bukan hal-hal lain, sehingga betul-betul merupakan persaudaraan murni dan suci. Persaudaraan yang akan abadi seabadi imannya kepada Allah swt. Dengan kata lain, persaudaraan yang didasarkan Illah, sebagaimana diterangkan dalam banyak hadits tentang keutamaan orang yang saling mencintai karena Allah swt., di antaranya:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ اللهَ تَعَالَى يَقُوْلُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: أَيْنَ الْمُتَحَابُّوْنَ بِجَلاَلِيْ اَلْيَوْمَ أُظِلُّهُمْ فِى ظِلِّيْ يَوْمَ لاَظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ (رواه مسلم
Abu Hurairah berkata, Rasulullah saw. bersabda, “pada hari kiamat allah swt. akan berfirman, ‘di manakah orang yang saling terkasih sayang karena kebesaran-Ku, kini aku naungi di bawah naungan-Ku, pada saat tiada naungan, kecuali naungan-Ku.

       Sifat persaudaraan kaum mukmin yatiu mereka yang saling menyayangi, mengasihi dan saling membantu. Demikian akrab, rukun dan serempak sehingga merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan satu sama lain. Dalam hal satu kesatuan ini, Nabi saw. mengibaratkan dalam berbagai hal, di antaranya dengan tubuh, bangunan dan lainnya. Jika salah satu ada yang menghadapi kesulitan, maka yang lainpun harus belasungkawa dan turut menghadapinya. Begitupun sebaliknya.
            Orang yang mencintai saudaranya karena Allah akan memandang bahwa dirinya merupakan aslah satu anggota masyarakat, yang harus membangun suatu tatanan untuk kebahagiaan bersama. Apapun yang dirasakan oleh saudaranya, baik kebahagiaan maupun kesengsaraan, ia anggap sebagai kebahagiaan dan kesengsaraannya juga. Dengan demikian, terjadi keharmonisan hubungan antarindividu yang akan memperkokoh persatuan dan kesatuan. Dalam hadits lain Rasulullah saw. menyatakan:

عَنْ أَبِيْ مُوْسَى رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَلْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا. (أخرجه البخارى
Diriwayatkan dari Abi Musa ra. di berkata, "Rasulullah saw. pernah bersabda, 'Orang mukmin yang satu dengan yang lain bagai satu bangunan yang bagian-bagiannya saling mengokohkan. (HR. Bukhari)
            Masyarakat seperti itu, telah dicontohkan pada zaman Rasulullah saw. Kaum Anshar dengan tulus ikhlas menolong dan merasakan penderitaan yang dialami oleh kaum Muhajirin sebagai penderitaannya. Perasaan seperti itu bukan didasarkan keterkaitan daerah atau keluarga, tetapi didasarkan pada keimanan yang teguh. Tak heran kalau mereka rela memberikan apa saja yang dimilikinya untuk menolong saudaranya dari kaum Muhajirin, bahkan ada yang menawarkan salah satu istrinya untuk dinikahkan kepada saudaranya dari Muhajirin.
            Persaudaraan seperti itu sungguh mencerminkan betapa kokoh dan kuatnya keimanan seseorang. Ia selalu siap menolong saudaranya seiman tanpa diminta, bahkan tidak jarang mengorbankan kepentingannya sendiri demi menolong saudaranya. Perbuatan baik seperti itulah yang akan mendapat pahala besar di sisi Allah swt., yakni memberikan sesuatu yang sangat dicintainya kepada saudaranya, tanpa membedakan antara saudaranya seiman dengan dirinya sendiri. Allah swt. berfirman:

لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya.(QS. Ali-Imran : 92)

           Sebaliknya, orang-orang mukmin yang egois, yang hanya mementingkan kebahagiaan dirinya sendiri, pada hakikatnya tidak memiliki keimanan yang sesungguhnya. Hal ini karena perbuatan seperti itu merupakan perbuatan orang kufur dan tidak disukai Allah swt. Tidaklah cukup dipandang mukmin yang taat sekalipun khusyuk dalam shalat atau melaksanakan semua rukun Islam, bila ia tidak peduli terhadap nasib saudaranya seiman.
            Namun demikian, dalam mencintai seorang mukmin, sebagaimana dikatakan di atas, harus didasari lillah. Oleh karena itu, harus tetap memperhatikan rambu-rambu syara’. Tidak benar, dengan alasan mencintai saudaranya seiman sehingga ia mau menolong saudaranya tersebut dalam berlaku maksiat dan dosa kepada Allah swt.
            Sebaiknya, dalam mencintai sesama muslim, harus mengutamakan saudara-saudara seiman yang betul-betul taat kepada Allah swt. Rasulullah saw. memberikan contoh siapa saja yang harus terlebih dahulu dicintai, yakni mereka yang berilmu, orang-orang terkemuka, orang-orang yang suka berbuat kebaikan, dan lain-lain sebagaimana diceritakan dalam hadits.

عَنْ عَبْدِ اللهِ ابنْ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لِيَلِّيَنِيْ مِنْكُمْ أُوْلُوا اْلأَحْلاَمِ وَالنُّهَى ثُمَّ يَلُوْنَهُمْ ثَلاَثًا وَإِيَّاكُمْ وَهِيْشَاتِ اْلأَسْوَاقِ. رواه مسلم

Abdullah bin Mas’ud ra., ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: hendaknya mendekat kepadaku orang-orang dewasa dan yang pandai , ahli-ahli pikir. Kemudian berikutnya lagi. Awaslah! Janganlah berdesak-desakan seperti orang-orang pasar. (HR. Muslim)

            Hal itu tidak berarti diskriminatif karena Islam pun memerintahkan umatnya untuk mendekati orang-orang yang suka berbuat maksiat dan memberikan nasihat kepada mereka atau melaksanakan amar ma’ruf dan nahi munkar.

3. Membuang Duri di Jalan
            a. Teks dan Terjemah Hadits

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: الإِيْمَانُ بِضْعٌ وَّسَبْعُوْنَ أَوْ بِضْعُ وَّسِتُّوْنَ شَعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لآإِلـهَ إِلاَّ اللهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِّنَ اْلإِيْمَانِ. (متفق عليه) (محي الدين أبي زكريّا يحيى بن شرف النواوي " رياض الصالحين" فى باب "كثرة طروق الخير، ص، 77-78

Dari Abi Hurairah ra., dari Nabi saw. Beliau bersabda, ”Iman itu tujuh puluh cabang lebih atau enam puluh cabang lebih; yang paling utama adalah ucapan “lâ ilâha illallâhu” dan yang paling rendah adalah menyingkirkan rintangan (kotoran) dari tengah jalan, sedangkan rasa malu itu (juga) salah satu cabang dari iman.”

            b. Penjelasan Hadits
            Dalam hadits di atas, dijelaskan bahwa cabang yang paling utama adalah tauhid, yang wajib bagi setiap orang, yang mana tidak satu pun cabang iman itu menjadi sah kecuali sesudah sahnya tauhid tersebut. Adapun cabang iman yang paling rendah adalah menghilangkan sesuatu yang mengganggu kaum muslimin, di antaranya dengan menyingkirkan duri atau batu dari jalan mereka.
            Hadits di atas menunjukkan bahwa dalam Islam, sekecil apapun perbuatan baik akan mendapat balasan dan memiliki kedudukan sebagai salah satu pendukung akan kesempurnaan keimanan seseorang.
            Duri dalam konotasi secara sekilas menunjukkan pada sebuah benda yang hina. Akan tetapi, jika dipahami lebih luas, yang dimaksud dengan duri di sini adalah segala sesuatu yang dapat membahayakan pejalan kaki, baik besar maupun kecil. Hal ini semacam ini mendapat perhatian serius dari Nabi saw. sehingga dikategorikan sebagai salah satu cabang daripada iman, karena sikap semacam ini mengandung nilai kepedulian sosial, sedang dalam Islam ibadah itu tidak hanya terbatas kepada ibadah ritual saja, bahkan setiap ibadah ritual, pasti di dalamnya mengandung nilai-nilai sosial.
            Di samping hal tersebut di atas, menghilangkan duri dari jalan mengandung pengertian bahwa setiap muslim hendangkan jangan mencari kemudlaratan, membuat atau membiarkan kemudlaratan. Hal ini sesuai dengan sabda Rasul saw. yang dijadikan sebuah kaidah dalam Ushul Fiqh:

لاَضَرَارَ وَلاَ ضِرَار
Janganlah mencari kemudlaratan dan jangan pula membuat kemudlaratan.

           Membiarkan duri di jalan atau sejenisnya berarti membiarkan kemudlaratan atau membuat kemudlaratan baru, jika adanya duri tersebut awalnya sengaja disimpan oleh orang lain.
            Dalam hadits lain diriwayatkan :

وَعَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه عَنْ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( وَاَلَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يُؤْمِنُ عَبْدٌ حَتَّى يُحِبَّ لِجَارِهِ - أَوْ لِأَخِيهِ- مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ )  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Dari Anas bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Demi Tuha yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang hamba (dikatakan) beriman sehingga ia mencintai tetangganya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri." Muttafaq Alaihi. 

وَعَنْ أَبِي ذَرٍّ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( لَا تَحْقِرَنَّ مِنْ اَلْمَعْرُوفِ شَيْئًا, وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ )

Dari Abu Dzar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Janganlah engkau memandang rendah bentuk apapun dari kebaikan, walaupun engkau hanya bertemu dengan saudaramu dengan muka manis." Riwayat Muslim. 

وَعَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( إِذَا طَبَخْتَ مَرَقَةً, فَأَكْثِرْ مَاءَهَا, وَتَعَاهَدْ جِيرَانَكَ )  أَخْرَجَهُمَا مُسْلِمٌ

Dari Abu Dzar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila engkau memasak kuah, perbanyaklah airnya dan perhatikanlah tetanggamu." Riwayat Muslim. 

E. Simpulan
            Sudah jelas hadits di atas mengajarkan kepada kita bahwa seorang muslim itu harus saling tolong-menolong dalam kebenaran dan kesabaran, selain itu hadits ini juga mengajarkan kepada kita agar peka terhadap problematika sosial yang muncul di hadapan kita sehingga jika kita meringankan beban orang lain maka pada hakikatnya kita telah meringankan beban kita sendiri seperti yang dijelaskan hadits di atas.
            Oleh karena itu sudah terbukti jelas bahwa Al-Quran dan Sunnah akan tetap sesuai dan relevan dengan perubahan zaman tanpa harus dirombak, direvisi, diamandemen dll. Seperti tindakan para Jaringan Iblis Liberal yang terus menerus menyuntikan paham liberalnya ketengah-tengah umat Islam. Mudah-mudahan Allah memperkuat Islamic Worldview kita dalam menghadapi arus pemikiran liberal tersebut, dan mudah-mudahan para Jaringan Iblis Liberal itu bertaubat.

F. Daftar Pustaka
Al-Qur’anul Karim
Imam an-Nawawi. Riyadlush ash-Shalihin, Syarah Shahih Muslim. Beirut:Dar al-Fikr
Ash-Shon’ani. t.t, Subulus Salaam, Syarah Bulughul Maraam Min Adillatil Ahkaam.Beirut:Dar al-Fikr
Hassan, Ahmad. 1972. Tarjamah Bulughul Maraam. Bandung: CV. Diponegoro.
Syafei, Rahmat. 2000. Al-Hadis Aqidah, Akhlaq, Sosial dan Hukum. Bandung : CV. Pustaka Setia.
Alawi Abbas al-Maliki dan Hasan Sulaiman al-Nuri. 2010. Ibanatul Ahkam Syarh Bulughul             Maram Min Adillatil Ahkaam (terjemahan).Kuala Lumpur : Al-Hidayah Publication.

10.59

Adab Guru dan Murid


آداب المعلم والمتعلم
Adab Guru dan Adab Murid

أما المتعلم فينبغي له تقديم طهارة النفس عن رذائل الأخلاق ومذموم الصفات. إذ العلم عبادة القلب.
وينبغي له قطع العلائق الشاغلة، فان الفكرة متى توزعت قصرت عن إدراك الحقائق.
Adapun adab bagi seorang murid ialah, murid harus membersihkan jiwanya terlebih dahulu dari akhlak-akhlak yang hina dan sifat-sifat yang tercela. Sebab ilmu itu ibadah hati. Dia harus melepaskan diri dari berbagai kesibukan lain, sebab selagi pikiran bercabang-cabang, maka kemampuannya menggali hakikat menjadi terbatas.
وقد كان السلف يؤثرون العلم على كل شيء، فروى عن الإمام احمد رحمه الله انه لم يتزوج إلا بعد الربعين.
Orang-orang salaf lebih mementingkan ilmu dari pada hal-hal yang lain. Diriwayatkan dari Imam Ahmad, bahwa dia baru menikah setelah berumur empat puluh tahun. 

وعلى المتعلم أن يلقى زمامه إلي المعلم اللقاء المريض زمامه إلي الطبيب، فيتواضع له، ويبالغ في خدمته.             
Murid harus menyerahkan kendali dirinya kepada guru, seperti pasien yang menyerahkan penanganan dirinya kepada dokter. Karena itu dia harus merendahkan diri dan benar-benar menurut kepadanya.

وقد كان ابن عباس رضي الله عنه يأخذ بركاب زيد بن ثابت رضي الله عنه ويقول: هكذا أمرنا أن نفعل بالعلماء.
Ibnu Abbas ra, pernah memegangi tali kekang hewan tunggangan Zaid bin Tsabit ra., seraya berkata, “Beginilah yang kami lakukan terhadap orang yang berilmu.”

 ومتى تكبر المتعلم أن يستفيد من غير موصوف بالتقدم فهو جاهل، لأن الحكمة ضالة المؤمن أينما وجدها أخذها، وليدع رأيه لرأى معلمه فان خطأ المعلم أنفع للمتعلم من صواب نفسه.
Selagi murid merasa sombong dengan tidak mau mengambil manfaat dari orang yang mungkin kurang terkenal, maka dia adalah orang yang bodoh, sebab hikmah adalah milik orang mukmin yang hilang. Selagi barang itu sudah ditemukan, maka hendaklah dia segera mengambilnya. Hendaklah dia menyerahkan pendapatnya kepada pendapat gurunya, jika guru salah, masih lebih bermanfaat bagi murid dari pada murid merasa dirinya benar.

قال على رضي الله عنه: إن من حق العالم عليك أن تسلم على القوم عامة، وتخصه بالتحية، وأن تجلس أمامه، ولا تشير عنده بيدك، ولا تغمزن بعينك، ولا تكثر عليه السؤال، ولا تعينه في الجواب، ولا تلح عليه إذا كسل، ولا تراجعه إذا امتنع، ولا تأخذ بثوبه إذا نهض، ولا تفشى له سرا، ولا تغتابن عنده أحدا، ولا تطلبن عثرته، وان زل قبلت معذرته، ولا تقولن له: سمعت فلانا يقول كذا، ولا أن فلانا يقول خلافك. ولا تصفن عنده عالما، ولا تعرض من طول صحبته، ولا ترفع نفسك عن خدمته، وإذا عرضت له حاجة سبقت القوم إليها، فإنما هو بمنزلة النخلة تنتظر متى يسقط عليك منها شيء.
Ali bin Abi Thalib ra. Berkata : “Diantara hak orang yang berilmu atas dirimu ialah : Hendaklah engkau mengucapkan salam kepada semua yang hadir (dalam majlisnya), member salam hormat secara khusus kepadanya, duduk dihadapannya, tidak menunjuk dengan tangan ke arahnya, tidak memandang secara tajam kepadanya, tidak terlalu banyak mengajukan pertanyaan, tidak membantunya dalam memberikan jawaban, tidak memaksanya jika dia letih, tidak mendebatnya jika dia tidak menginginkannya, tidak memegang bajunya jika dia hendak bangkit, tidak membocorkan rahasianya, tidak menggunjingnya di hadapan orang lain, tidak mencari-cari kesalahannya, jika ada salah bicara harus dimaklumi, tidak boleh berkata dihadapannya “ Kudengar fulan berkata begini, yang berbeda dengan pendapatmu”, jangan katakana di hadapannya bahwa dia adalah seorang Ulama, jangan terus-menerus menyertainya, jangan sungkan-sungkan untuk berbakti kepadanya, jika diketahui dia mempunyai suatu keperluan, maka keperluannya harus segera dipenuhi. Kedudukan dirinya seperti pohon kurma, sedang engkau menunggu-nunggu apa yang akan jatuh dirinya.” 

وينبغي أن يحترز الخائض في العلم في مبدأ الأمر من الإصغاء إلى اختلاف الناس، فإن ذلك يحير عقله ويفتر ذهنه.
 Orang yang menekuni suatu ilmu, sejak semula jangan ada niat untuk tampil beda dengan orang lain, karena niat ini bias mengacaukan pikirannya dan membuyarkan konsentrasinya.

وينبغي له أن يأخذ من كل شيء أحسنه. لأن العمر لا يتسع لجميع العلوم، ثم يصرف جمام قوته إلى أشرف العلوم، وهو العلم المتعلق بالآخرة، الذي به يكتسب اليقين الذي حصله
Dia harus mengambil yang terbaik dari segala sesuatu. Sebab umurnya tidak memungkinkan untuk mendalami semua ilmu. Dia harus membulatkan tekadnya untuk memilih ilmu yang paling baik, yang tak lain adalah ilmu yang berkaitan dengan akhirat, yang dengan ilmu itu akan diperoleh keyakinan.

وأما المعلم :
من ذلك الشفقة على المتعلمين، وأن يجريهم مجرى بنيه، ولا يطلب على إفاضة العلم أجرا، ولا يقصد به جزاءا ولا شكرا، بل يعلم لوجه الله تعالى، ولا يرى لنفسه منة على المتعلمين، بل يرى الفضل لهم إذ هيؤوا قلوبهم للتقرب إلى الله تعالى بزارعة العلم فيها، فهم كالذي يعير الأرض لمن يزرع فيها.

Adapun bagi seorang guru ialah :
Guru mempunyai beberapa tugas, diantaranya : Menyayangi, menuntunnya seperti menuntun anak sendiri, tidak meminta imbalan uang, tidak mengharapkan balasan dan ucapan terima kasih, dia harus mengajarkan ilmu karena mengharap ridho Allah, tidak melihat dirinya lebih hebat dari murid-muridnya, tetapi dia mau melihat bahwa adakalanya mereka lebih utama jika mempersiapkan hatinya untuk bertaqarrub kepada Allah dengan cara menanam ilmu di dalam hatinya, harus melihat bahwa murid adalah seperti sepetak tanah yang siap ditanami.

 فلا ينبغي أن يطلب المعلم الأجر إلا من الله تعالى. وقد كان السلف يمتنعون من قبول هدية المتعلم. ومنها أن لا يدخر من نصح المتعلم شيئا، وأن يزجره عن سوء الأخلاق بطريق التعريض مهما أمكن، لا على وجه التوبيخ، فإن التوبيخ يهتك حجاب الهيبة.

Tidak selayaknya bagi guru untuk meminta balasan kecuali dari Allah semata. Bahkan orang-orang salaf menolak jika ada murid yang memberinya hadiah. Guru tidak boleh menyimpan nasihat yang seharusnya diberikan kepada murid walau sedikitpun, harus memperingatkannya dari akhlak yang buruk dengan cara yang sehalus-halusnya, dan tidak boleh mendampratnya, karena dampratan itu justru akan mengurangi pamor dirinya.
ومنها: أن ينظر في فهم المتعلم ومقدار عقله، فلا يلقي إليه مالا يدركه فهمه ولا يحيط به عقله.
Guru harus mengetahui tingkat pemahaman murid dan kapasitas dirinya, tidak boleh menyampaikan pelajaran di luar kesanggupan akalnya.

فقد روي عن النبي صلى الله عليه وآله وسلم أنه قال: “أمرت أن أخاطب الناس على قدر عقولهم”

Diriwayatkan dari Nabi Saw., beliau bersabda : “aku diperintahkan untuk berbicara dengan manusia menurut kadar pemikiran pemikiran mereka.”[1]

ومنها: أن يكون المعلم عاملا بعلمه. ولا يكذب قوله فعله. قال الله تعالى: أتأمرون الناس بالبر وتنسون أنفسكم وأنتم تتلون الكتاب

Guru harus berbuat sesuai dengan ilmunya, tidak mendustakan antara perkataan dan perbuatan. Allah Ta’ala berfirman : “Mengapa kalian suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kalian melupakan diri (kewajiban) kalian sendiri, padahal kalian membaca Al-Kitab ?” [QS. Al-Baqarah : 44]

Sumber Tulisan :
Imam Ahmad bin Muhammad bin Abdirrahman Ibnu Qudamah al-Maqdisiy. 2000. Mukhtashar Minhajul Qashidin. Maktab Islamiy : Bayrut. Hal. 29-31.
Imam Ahmad bin Muhammad bin Abdirrahman Ibnu Qudamah al-Maqdisiy. 2010. Mukhtashar Minhajul Qashidin [Jalan Orang-orang yang Mendapat Petunjuk]. Pustaka Al-Kautsar : Jakarta. Penerjemah Oleh : Kathur Suhardi. Hal. 17-19


[1] Hadits ini tidak mempunyai dasar, hadits marfu’. Tetapi disebutkan di dalam shahih al-Bukhari, 1/99, sebagai catatan pinggir dalam masalah ilmu, bab orang-orang yang menyampaikan ilmu khusus kepada orang lain, yang dikhawatirkan mereka memahaminya, yang berasal dari perkataan Ali bin Abu Thalib.