A. Masalah
Manusia memang tidak akan pernah
lepas dari apa yang disebut sosial. Karena memang manusia itu merupakan makhluk
sosial, makhluk yang memerlukan orang lain, berkomunikasi dengan sesama,
bertukar pikiran, tolong-menolong dan lain sebagainya. Dalam pandangan Islam
seseorang tidak akan dikatakan sempurna imannya sampai ia mencintai saudaranya
seperti ia mencintai dirinya sendiri. Kendatipun pandangan Islam sudah demikian
benar, namun kenyataannya masih banyak orang yang apatis, kurang peka terhadap
permasalahan sosial sekarang ini sehingga tatanan sosial menjadi kurang
seimbang yang akhirnya terjadilah banyak kekacauan seperti pencurian,
perampokan, pembunuhan, jual beli manusia dan lain sebagainya yang mungkin saja
hal ini terjadi yang disebabkan salah satunya karena faktor para agniya kurang
peduli terhadap permasalahan sosial ataupun pihak pemerintah belum mampu
mengentaskan permasalahan pengangguran, juga bisa jadi karena orang yang miskin
pun kurang memiliki mental yang positif apalagi saat ini dunia sedang
terhegemoni oleh pemikiran barat yang sekular dan liberal. Sangat ironis memang
jika sifat apatis terhadap sosial itu dimiliki oleh orang Islam.
Nah, pada kesempatan kali ini
penulis akan membahas mengenai kepedulian sosial dalam presfektif hadits Rasulullah
Saw. yang akan dibahas di bawah ini :
B. Teks dan Terjemah Hadits
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ نَفَسَ
عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَ نَفَّسَ اللهُ عَنْ كُرْبَةً مِنْ
كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ
فِى الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ فِى
الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ وَاللهُ فِى عَوْنِ الْعَبْدِ مَاكَانَ الْعَبْدُ فِى
عَوْنِ أَخِيْهِ. (أخرجه مسلم)
“Dari Abu Hurairoh berkata,
Rasulullah SAW. Bersabda, ‘’barang siapa melepaskan dari seorang muslim satu
kesusahan dari kesusahan-kesusahan di dunia, niscaya Allah melepaskan dia dari
kesusahan-kesusahan hari kiamat. Dan barang siapa member kelonggaran kepada
orang yang susah, niscaya Allah akan member kelonggaran baginya di dunia dan
akhirat; dan barang siapa menutupi aib seorang muslim, niscaya Allah menutupi aib diadi dunia dan di
akhirat. Dan Allah selamanya menolong hamba-Nya, selama hambanya menolong
saudaranya. (H.R.Muslim)
C.
Penjelasan Hadits:
Hadits di atas mengajarkan kepada
kita untuk selalu memperhatikan sesame muslim dan memberikan pertolongan jika
seseorang mendapatkan kesulitan.
1. Melepaskan berbagai kesusahan
orang mukmin
Melepaskan kesusahan orang lain
sangat luas maknanya, bergantung pada kesusahaan yang diderita oleh saudarnya
seiman tersebut. Jika saudaranya termasuk orang miskin, sedangkan ia termasuk
orang berkecukupan atau kaya, ia harus berusaha menolongnya dengan cara
memberikan pekerjaan atau memberikan bantuan sesuai kemampuannya; jika
saudaranya sakit, ia berusaha menolongnya, antara lain dengan membantu
memanggilkan dokter atau memberikan bantuan uang alakadarnya guna
meringankankan biaya pengobatannya; jika saudaranya dililit utang, ia berusaha
untuk mencarikan jalan keluar, baik dengan memberikan bantuan agar utangnya
cepat dilunasi, maupun sekedar memberikan arahan-arahan yang akan membantu
saudaranya dalam mengatasi utangnya tersebut dan lain-lain.
Orang
muslim yang membantu meringankan atau melonggarkan kesusahan saudaranya seiman
berarti telah menolong hamba Allah SWT yang sangat disukai oleh-Nya dan Allah
SWT pun akan memberikan pertolongannya serta menyelamatkannya dari berbagai
kesusahan, baik di dunia maupun di akhirat. Sebagaiman firmannya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ
تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
“Hai orang-orang mukmin,
jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.’’
[QS. Muhammad : 7]
Begitupula
orang yang membantu kaum muslimin agar terlepas dari berbagai cobaan dan
bahaya, ia akan mendapat pahala yang lebih besar dari Allah SWT DAN Allah pun
akan melepaskannya dari berbagai kesusahan yang akan dihadapinya, baik di dunia
maupun di akhirat kelak, pada hari ketika harta benda, anak, maupun benda-benda
yang selama ini dibanggakan di dunia tidak lagi bermanfaat.pada waktu itu hanya
pertolongan Allah saja yang akan menyelamatkan manusia.
Berbahagialah
bagi mereka yang bersedia untuk melepaskan penderitaan sesame orang mukmin
karena pada hari kiamat nanti, Allah akan menyelamatkannya.
2. Melonggarkan kesusahan orang
lain
Adakalanya suatu masalah sangat
sulit untuk diatasi atau hanya dapat diselesaikan oleh yang bersangkutan.
Terhadap masalah seperti itu, seorang mukmin ikut melonggarkannya atau
memberikan pandangan dan jalan keluar, meskipun ia sendiri tidak terlibat secara
langsung. Bahkan, dengan hanya mendengarkan keluhannya saja sudah cukup untuk
mengurangi beban yang dihadapi olehnya.
Dengan
demikian, melonggarkan kesusahann orang lain haruslah sesuai dengan kemampuan
saja, dan bergantung kepada kesusahan apa yang sedang dialami oleh saudaranya
seiman tersebut. Jika mampu meringankan kesusahannya dengan memberikan materi, berilah
materi kepadanya. Dengan demikian, kesusahannya dapat berkurang, bahkan dapat
teratasi. Namun jika tidak memiliki materi, berilah saran atau jalan keluar
agar masalah yang dihadapinya cepat selesai. Bahkan jika tidak mempunyai idea
tau saran, doakanlah agar kesusahannya dapat segera diatasi dengan pertolongan
Allah SWT. Termasuk doa paling baik jika mendoakan orang lain dan orang yang
didoakan tidak mengetahuinya.
3. Menutupi aib seorang mukmin
serta menjaga orang lain dari berbuat dosa
Orang mukmin pun
harus berusaha menutupi aib saudaranya. Apalagi jika ia tahu bahwa orang yang
bersangkutan tidak akan senang kalau aaib atau rahasianya diketahui oleh orang
lain. Namun demikian, jika aib tersebut berhubungan dengfan kejahatan yang
dilakukannya, ia tidak boleh menutupinya. Jika hal itu dilakukan, berarti ia
telah menolong orang lain dalam hal kejahatan sehingga orang tersebut terhindar
dari hukuman. Perbuatan seperti itu sangat dicela dan tidak dibenarkan dalam Islam.
Sabda
Nabi Muhammad SAW “Barangsiapa yang
menutupi aib seorang muslim” maksudnya menutupi aib orang yang baik, bukan
orang-orang yang telah dikenal suka berbuat kerusakan. Hal ini berlaku dalam
kaitannya dengan dosa yang telah terjadi dan telah berlalu.
Namun apabila kita melihat suatu
kemaksiatan dan sesorang sedang mengerjakannya maka wajib bersegera untuk
mencegahnya dan menahannya. Jika dia tidak mampu, boleh baginya melaporkannya
kepada penguasa jika tidak dikhawatirkan muncul mafsadah (yang lebih besar).
Terhadap
orang yang telah terang-terangan melakukan maksiat tidaklah perlu
ditutup-tutupi karena menutup-nutupinya menyebabkan ia melakukan kerusakan dan
bebas menganggu serta melanggar hal-hal yang ham dan akhirnya dapat menarik
orang lain untuk melakukan sebagaimana yang ia lakukan. Bahkan hendaknya ia
melaporkannya kepada penguasa jika tidak dikhawatirkan timbulnya mafsadah.
4.
Allah SWT senantiasa akan menolong hamba-Nya, selagi hamba itu
menolong saudaranya.
Jika ditelaah secara seksama, pertolongan
yang diberikan seorang mukmin kepada saudaranya, pada hakikatnya adalah
menolong dirinya sendiri. Hal ini karena Allah pun akan menolongnya, baik di
dunia maupun di akhiratselama hamba-Nya mau menolong saudaranya. Dengan kata
lain, ia telah menyelamatkan dirinya sendiri dari berbagai kesusahan dunia dan
akhirat.
Maka
orang yang suka menolong orang lain, misalnya dengan memberikan bantuan materi,
hendaknya tidak merasa khawatir bahwa ia akan jatuh miskin atau ditimpa
kesusahan. Sebaliknya, dia harus berpikir bahwa segala sesuatu yang ia miliki
adalah miliki Allah SWT. Jika Dia bermaksud mengambilnya maka harta itu habis.
Begitu juga jika Allah bermaksud menambahnya, maka seketika akan bertambah
banyak.
Mereka
yang suka menolong orang lain dijanjikan akan mendapat penggantinya sesuai
perbuatannya, baik di dunia maupun di akhirat. Tentu saja dalam memberikan
pertolongan kepada orang lain jangan berlebihan.
Sebenarnya
inti dari Hadits di atas adalah agar umat Islam memiliki kepedulian dan
kepekaan social atas saudara-saudaranya seiman. Dalam Islam berlaku egois atau
hanya mementingkan diri sendiri tidak dibenarkan.
Beberapa
syariat Islam seperti zakat fitrah, antara lain dimaksudkan untuk memupuk jiwa
kepedulian terhadap sesame mukmin yang berada dalam kemiskinan.
Sebagaimana
dinyatakan dalam Hadits:
Artinya : “Rasulullah saw mewajibkan zakat fitrah sebagai
pembersih untuk orang yang shaum dari ucapan dan perbuatan yang tidak baik dan
sebagai jamuan bagi orang miskin.’’ (H.R. Abu Dawud)
Orang
yang memiliki kedudukan atau harta yang melebihi orang lain, hendahknya tidak
menjadikannya sombong atau tinggi hati serta tidak mau menolong orang yang
sangat membutuhkan pertolongannya. Pada hakikatnya, Allah SWT menjadikan adanya
perbedaan seseorang dengan yang lainnya adalah untuk saling melengkapi, saling
membantu, dan saling menolong satu sama lain. Sebagaimana ditegaskan dalam
firmannya :
أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَةَ رَبِّكَ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ
مَعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ
دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا وَرَحْمَةُ رَبِّكَ خَيْرٌ
مِمَّا يَجْمَعُونَ
‘’Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat
Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan
dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain
beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain.
dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.’’
Alawi Abbas al-Maliki dan Hasan
Sulaiman al-Nuri dalam kitabnya “Ibanatul Ahkam Syarh Bulughul Maram” menjelaskan
yang terjemahannya :
Makna Hadits
Pahala yang bakal diterima oleh seseorang di akhirat kelak
merupakan ganjaran di atas segala apa yang dilakukannya semasa hidup di dunia,
bahkan dia bakal memperoleh ganjaran yang lebih besar daripada apa yang
diamalkan ketika di dunia. Apatah lagi jika perbuatan di dunia adalah
meringankan kesusahan saudaranya sesama muslim dan merahsiakan aibnya. Hadis
ini mengajarkan kita bahawa barangsiapa ingin Allah (s.w.t) sentiasa menolong
dan memberinya taufik, maka hendaklah orang itu sentiasa membantu saudaranya
sesama muslim.
Fiqih Hadits
1. Orang yang melapangkan kesusahan saudaranya sesama muslim memperoleh
ganjaran pahala di sisi Allah seperti seseorang yang member pinjaman hutang
lalu memberi hutang yang sudah tidak mampu lagi dibayarnya itu.
2. Orang yang meringankan kesulitan orang lain mendapat ganjaran
pahala di sisi Allah.
3. Orang yang menutup aib saudaranya sesama muslim mendapat ganjaran
pahala di sisi Allah. Namun ada sebahagian aib yang tidak boleh ditutupi
seperti jika bahaya daripada aib itu boleh menjangkiti orang lain. Contohnya,
ada seorang lelaki peminum arak lalu mengajak anaknya turut minum arak, maka
perkara ini wajib dlaporkan kepada hakim dan tidak boleh ditutupi.
4. Allah (s.w.t) menolongi hamba-Nya selama hamba itu mahu bersedia
menolong saudaranya.
D. Hadits Yang Berhubungan
1.
Memberi Lebih Baik Daripada Meminta
a. Teks dan Terjemah Hadits
حَدِيْثُ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، أَنَّ رَسُوْلَ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ، وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ وَذَكَرَ الصَّدَقَةَ
وَالتَّعَفُّفَ وَالْمَسْئَلَةَ: اَلْيَدُ الْعُلْيَى خَيْرٌ مِّنَ الْيَدِ السُّفْلَى،
فَالْيَدُ الْعُلْيَى هِيَ الْمُنْفِقَةُ وَالسُّفْلَى هِيَ السَّائِلَةُ (أخرجه البخارى
فى : 24 كتاب الزكاة: 18 – لاصدقة إلاّ عن ظهر غنى
Ibnu Umar ra. Berkata, “Ketika Nabi saw.
Berkhotbah di atas mimbar dan menyebut sedekah dan minta-minta, beliau
bersabda, ”Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah, tangan
yang di atas memberi dan tangan yang di bawah menerima.”
b. Penjelasan Hadits
Islam sangat mencela orang yang mampu untuk
berusaha dan memiliki badan sehat, tetapi tidak mau berusaha, melainkan hanya
menggantungkan hidupnya pada orang lain. Misalnya, dengan cara meminta-minta.
Keadaan seperti itu sangat tidak sesuai dengan sifat umat Islam yang mulia dan
memiliki kekuatan, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya:
وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ
وَلِلْمُؤْمِنِينَ
Kekuatan itu bagi Allah, bagi rasul-Nya dan
bgai orang-orang yang beriman (QS. Al-Munafiqun:8)
Dengan
demikian, seorang peminta-peminta, yang sebenarnya mampu mencari kasab dengan
tangannya, selain telah merendahkan dirinya, ia pun secara tidak langsung telah
merendahkan ajaran agamanya yang melarang perbuatan tersebut. Bahkan ia
dikategorikan sebaga kufur nikmat karena tidak menggunakan tangan dan anggota
badannya untuk berusaha mencari rezeki sebagaimana diperintahkan syara’.
Padahal Allah pasti memberikan rezeki kepada setiap makhluk-Nya yang berusaha. Allah
swt berfirman:
وَمَا
مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ
مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
Dan tidak ada suatu binatang melata pun di
bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan dia mengetahui tempat
berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. semuanya tertulis dalam Kitab
yang nyata (Lauh mahfuzh). (QS. Hud:6)
Dalam
hadits dinyatakan dengan tegas bahwa tangan orang yang di atas (pemberi
sedekah) lebih baik daripada tangan yang di bawah (yang diberi). Dengan kata
lain, derajat orang yang pemberi lebih tinggi daripada derajat peminta-minta.
Maka seyogyanya bagi setiap umat Islam yang memiliki kekuatan untuk mencari
rezeki, berusaha untuk bekerja apa saja yang penting halal.
Bagi
orang yang selalu membantu orang lain, di samping akan mendapatkan pahala kelak
di akherat, Allah jug akan mencukupkan rezekinya di dunia. Dengan demikian,
pada hakekatnya dia telah memberikan rezekinya untuk kebahagiaan dirinya dan
keluarganya. Karena Allah swt. Akan memberikan balasan yang berlipat dari
bantuan yang ia berikan kepada orang lain.
Orang
yang tidak meminta-minta dan menggantungkan hidup kepada orang lain, meskipun
hidupnya serba kekurangan, lebih terhormat dalam pandangan Allah swt. dan Allah
akan memuliakannya akan mencukupinya. Orang Islam harus berusaha memanfaatkan
karunia yang diberikan oleh Allah swt, yang berupa kekuatan dan kemampuan
dirinya untuk mencukupi hidupnya disertai doa kepada Allah swt.
Adanya
kewajiban berusaha bagi manusia, tidak berarti bahwa Allah swt. tidak berkuasa
untuk mendatangkan rezeki begitu saja kepada manusia, tetapi dimaksudkan agar
manusia menghargai dirinya sendiri dan usahanya, sekaligus agar tidak berlaku
semena-mena atau melampaui batas, sebagaimana dinyatakan oleh Syaqiq Ibrahim
dalam menafsirkan ayat:
وَلَوْ بَسَطَ اللَّهُ
الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِي الْأَرْضِ وَلَكِنْ يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَا
يَشَاءُ إِنَّهُ بِعِبَادِهِ خَبِيرٌ بَصِيرٌ
Dan jikalau Allah melapangkan rezki kepada
hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah
menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya dia Maha
mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat (QS. Asy-Syura:27).
Menurutnya,
seandainya Allah swt., memberi rezeki kepada manusia yang tidak mau berusaha,
pasti manusia semakin rusak dan memiliki banyak peluang untuk berbuat
kejahatan. Akan tetapi, Dia Mahabijaksana dan memerintahkan manusia untuk
berusaha agar manusia tidak banyak berbuat kerusakan.
2. Larangan Hidup Individualistis
a. Teks
dan Terjemah Hadits
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَيُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَايُحِبُّ
لِنَفْسِهِ. (رواه البخارى ومسلم وأحمد والنسائى
Anas ra. berkata, bahwa Nabi saw. bersabda,
“Tidaklah termasuk beriman seseorang di antara kami sehingga mencintai
saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri”. (H.R. Bukhari, Muslim,
Ahmad, dan Nasa’i)
b.
Penjelasan Hadits
Sikap
individualistis adalah sikap mementingkan diri sendiri, tidak memiliki kepekaan
terhadap apa yang dirasakan oleh orang lain. Menurut agama, sebagaimana di
sampaikan dalam hadits di atas adalah termasuk golongan orang-orang yang tidak
(smpurna) keimanannyanya.
Seorang
mukmin yang ingin mendapat ridla Allah swt. Harus berusaha untuk melakukan
perbuatan-perbuatan yang diridai-Nya. Salah satunya adalah mencintai sesama
saudaranya seiman seperti ia mencintai dirinya, sebagaimana dinyatakan dalam
hadits di atas.
Namun demikian, hadits di atas tidak dapat diartikan
bahwa seorang mukmin yang tidak mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya
sendiri berarti tidak beriman. Maksud pernyataan لاَيُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ pada hadits di atas,
“tidak sempurna keimanan seseorang” jika tidak mencintai saudaranya seperti
mencintai dirinya sendiri. Jadi, haraf nafi لاَ pada hadits tersebut berhubungan
dengan ketidaksempurnaan.
Hadits
di atas juga menggambarkan bahwa Islam sangat menghargai persaudaraan dalam
arti sebenarnya. Persaudaraan yang datang dari hati nurani, yang dasarnya
keimanan dan bukan hal-hal lain, sehingga betul-betul merupakan persaudaraan
murni dan suci. Persaudaraan yang akan abadi seabadi imannya kepada Allah swt.
Dengan kata lain, persaudaraan yang didasarkan Illah, sebagaimana diterangkan
dalam banyak hadits tentang keutamaan orang yang saling mencintai karena Allah
swt., di antaranya:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ اللهَ تَعَالَى يَقُوْلُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ:
أَيْنَ الْمُتَحَابُّوْنَ بِجَلاَلِيْ اَلْيَوْمَ أُظِلُّهُمْ فِى ظِلِّيْ يَوْمَ لاَظِلَّ
إِلاَّ ظِلُّهُ (رواه مسلم
Abu Hurairah berkata, Rasulullah saw.
bersabda, “pada hari kiamat allah swt. akan berfirman, ‘di manakah orang yang
saling terkasih sayang karena kebesaran-Ku, kini aku naungi di bawah
naungan-Ku, pada saat tiada naungan, kecuali naungan-Ku.
Sifat
persaudaraan kaum mukmin yatiu mereka yang saling menyayangi, mengasihi dan
saling membantu. Demikian akrab, rukun dan serempak sehingga merupakan satu
kesatuan yang tak terpisahkan satu sama lain. Dalam hal satu kesatuan ini, Nabi
saw. mengibaratkan dalam berbagai hal, di antaranya dengan tubuh, bangunan dan
lainnya. Jika salah satu ada yang menghadapi kesulitan, maka yang lainpun harus
belasungkawa dan turut menghadapinya. Begitupun sebaliknya.
Orang
yang mencintai saudaranya karena Allah akan memandang bahwa dirinya merupakan aslah
satu anggota masyarakat, yang harus membangun suatu tatanan untuk kebahagiaan
bersama. Apapun yang dirasakan oleh saudaranya, baik kebahagiaan maupun
kesengsaraan, ia anggap sebagai kebahagiaan dan kesengsaraannya juga. Dengan
demikian, terjadi keharmonisan hubungan antarindividu yang akan memperkokoh
persatuan dan kesatuan. Dalam hadits lain Rasulullah saw. menyatakan:
عَنْ أَبِيْ مُوْسَى رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَلْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ
بَعْضُهُ بَعْضًا. (أخرجه البخارى
Diriwayatkan dari Abi Musa ra. di berkata,
"Rasulullah saw. pernah bersabda, 'Orang mukmin yang satu dengan yang lain
bagai satu bangunan yang bagian-bagiannya saling mengokohkan. (HR. Bukhari)
Masyarakat
seperti itu, telah dicontohkan pada zaman Rasulullah saw. Kaum Anshar dengan
tulus ikhlas menolong dan merasakan penderitaan yang dialami oleh kaum
Muhajirin sebagai penderitaannya. Perasaan seperti itu bukan didasarkan
keterkaitan daerah atau keluarga, tetapi didasarkan pada keimanan yang teguh.
Tak heran kalau mereka rela memberikan apa saja yang dimilikinya untuk menolong
saudaranya dari kaum Muhajirin, bahkan ada yang menawarkan salah satu istrinya
untuk dinikahkan kepada saudaranya dari Muhajirin.
Persaudaraan
seperti itu sungguh mencerminkan betapa kokoh dan kuatnya keimanan seseorang.
Ia selalu siap menolong saudaranya seiman tanpa diminta, bahkan tidak jarang
mengorbankan kepentingannya sendiri demi menolong saudaranya. Perbuatan baik
seperti itulah yang akan mendapat pahala besar di sisi Allah swt., yakni
memberikan sesuatu yang sangat dicintainya kepada saudaranya, tanpa membedakan
antara saudaranya seiman dengan dirinya sendiri. Allah swt. berfirman:
لَنْ
تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ
شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan
(yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai.
dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya.(QS.
Ali-Imran : 92)
Sebaliknya,
orang-orang mukmin yang egois, yang hanya mementingkan kebahagiaan dirinya
sendiri, pada hakikatnya tidak memiliki keimanan yang sesungguhnya. Hal ini
karena perbuatan seperti itu merupakan perbuatan orang kufur dan tidak disukai
Allah swt. Tidaklah cukup dipandang mukmin yang taat sekalipun khusyuk dalam
shalat atau melaksanakan semua rukun Islam, bila ia tidak peduli terhadap nasib
saudaranya seiman.
Namun
demikian, dalam mencintai seorang mukmin, sebagaimana dikatakan di atas, harus
didasari lillah. Oleh karena itu, harus tetap memperhatikan rambu-rambu syara’.
Tidak benar, dengan alasan mencintai saudaranya seiman sehingga ia mau menolong
saudaranya tersebut dalam berlaku maksiat dan dosa kepada Allah swt.
Sebaiknya,
dalam mencintai sesama muslim, harus mengutamakan saudara-saudara seiman yang
betul-betul taat kepada Allah swt. Rasulullah saw. memberikan contoh siapa saja
yang harus terlebih dahulu dicintai, yakni mereka yang berilmu, orang-orang
terkemuka, orang-orang yang suka berbuat kebaikan, dan lain-lain sebagaimana
diceritakan dalam hadits.
عَنْ عَبْدِ اللهِ ابنْ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لِيَلِّيَنِيْ مِنْكُمْ أُوْلُوا
اْلأَحْلاَمِ وَالنُّهَى ثُمَّ يَلُوْنَهُمْ ثَلاَثًا وَإِيَّاكُمْ وَهِيْشَاتِ اْلأَسْوَاقِ.
رواه مسلم
Abdullah bin Mas’ud ra., ia berkata:
Rasulullah saw. bersabda: hendaknya mendekat kepadaku orang-orang dewasa dan
yang pandai , ahli-ahli pikir. Kemudian berikutnya lagi. Awaslah! Janganlah
berdesak-desakan seperti orang-orang pasar. (HR. Muslim)
Hal itu
tidak berarti diskriminatif karena Islam pun memerintahkan umatnya untuk
mendekati orang-orang yang suka berbuat maksiat dan memberikan nasihat kepada
mereka atau melaksanakan amar ma’ruf dan nahi munkar.
3. Membuang Duri di Jalan
a. Teks
dan Terjemah Hadits
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: الإِيْمَانُ بِضْعٌ وَّسَبْعُوْنَ أَوْ بِضْعُ
وَّسِتُّوْنَ شَعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لآإِلـهَ إِلاَّ اللهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ
اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِّنَ اْلإِيْمَانِ. (متفق عليه)
(محي الدين أبي زكريّا يحيى بن شرف النواوي " رياض الصالحين" فى باب
"كثرة طروق الخير، ص، 77-78
Dari Abi Hurairah ra., dari Nabi saw. Beliau
bersabda, ”Iman itu tujuh puluh cabang lebih atau enam puluh cabang lebih; yang
paling utama adalah ucapan “lâ ilâha illallâhu” dan yang paling rendah adalah
menyingkirkan rintangan (kotoran) dari tengah jalan, sedangkan rasa malu itu
(juga) salah satu cabang dari iman.”
b.
Penjelasan Hadits
Dalam
hadits di atas, dijelaskan bahwa cabang yang paling utama adalah tauhid, yang
wajib bagi setiap orang, yang mana tidak satu pun cabang iman itu menjadi sah
kecuali sesudah sahnya tauhid tersebut. Adapun cabang iman yang paling rendah
adalah menghilangkan sesuatu yang mengganggu kaum muslimin, di antaranya dengan
menyingkirkan duri atau batu dari jalan mereka.
Hadits
di atas menunjukkan bahwa dalam Islam, sekecil apapun perbuatan baik akan
mendapat balasan dan memiliki kedudukan sebagai salah satu pendukung akan
kesempurnaan keimanan seseorang.
Duri
dalam konotasi secara sekilas menunjukkan pada sebuah benda yang hina. Akan
tetapi, jika dipahami lebih luas, yang dimaksud dengan duri di sini adalah
segala sesuatu yang dapat membahayakan pejalan kaki, baik besar maupun kecil.
Hal ini semacam ini mendapat perhatian serius dari Nabi saw. sehingga
dikategorikan sebagai salah satu cabang daripada iman, karena sikap semacam ini
mengandung nilai kepedulian sosial, sedang dalam Islam ibadah itu tidak hanya
terbatas kepada ibadah ritual saja, bahkan setiap ibadah ritual, pasti di
dalamnya mengandung nilai-nilai sosial.
Di
samping hal tersebut di atas, menghilangkan duri dari jalan mengandung
pengertian bahwa setiap muslim hendangkan jangan mencari kemudlaratan, membuat
atau membiarkan kemudlaratan. Hal ini sesuai dengan sabda Rasul saw. yang
dijadikan sebuah kaidah dalam Ushul Fiqh:
لاَضَرَارَ وَلاَ ضِرَار
Janganlah mencari kemudlaratan dan jangan pula membuat kemudlaratan.
Membiarkan
duri di jalan atau sejenisnya berarti membiarkan kemudlaratan atau membuat
kemudlaratan baru, jika adanya duri tersebut awalnya sengaja disimpan oleh
orang lain.
Dalam
hadits lain diriwayatkan :
وَعَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه عَنْ
اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( وَاَلَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا
يُؤْمِنُ عَبْدٌ حَتَّى يُحِبَّ لِجَارِهِ - أَوْ لِأَخِيهِ- مَا يُحِبُّ
لِنَفْسِهِ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Anas bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam bersabda: "Demi Tuha yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah
seorang hamba (dikatakan) beriman sehingga ia mencintai tetangganya sebagaimana
ia mencintai dirinya sendiri." Muttafaq Alaihi.
وَعَنْ أَبِي ذَرٍّ رضي الله عنه
قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( لَا تَحْقِرَنَّ مِنْ
اَلْمَعْرُوفِ شَيْئًا, وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ )
Dari Abu Dzar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam bersabda: "Janganlah engkau memandang rendah bentuk
apapun dari kebaikan, walaupun engkau hanya bertemu dengan saudaramu dengan
muka manis." Riwayat Muslim.
وَعَنْهُ
قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( إِذَا طَبَخْتَ مَرَقَةً,
فَأَكْثِرْ مَاءَهَا, وَتَعَاهَدْ جِيرَانَكَ ) أَخْرَجَهُمَا مُسْلِمٌ
Dari Abu Dzar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila engkau memasak kuah, perbanyaklah
airnya dan perhatikanlah tetanggamu." Riwayat Muslim.
E. Simpulan
Sudah
jelas hadits di atas mengajarkan kepada kita bahwa seorang muslim itu harus
saling tolong-menolong dalam kebenaran dan kesabaran, selain itu hadits ini
juga mengajarkan kepada kita agar peka terhadap problematika sosial yang muncul
di hadapan kita sehingga jika kita meringankan beban orang lain maka pada
hakikatnya kita telah meringankan beban kita sendiri seperti yang dijelaskan
hadits di atas.
Oleh
karena itu sudah terbukti jelas bahwa Al-Quran dan Sunnah akan tetap sesuai dan
relevan dengan perubahan zaman tanpa harus dirombak, direvisi, diamandemen dll.
Seperti tindakan para Jaringan Iblis Liberal yang terus menerus menyuntikan
paham liberalnya ketengah-tengah umat Islam. Mudah-mudahan Allah memperkuat
Islamic Worldview kita dalam menghadapi arus pemikiran liberal tersebut, dan
mudah-mudahan para Jaringan Iblis Liberal itu bertaubat.
F. Daftar Pustaka
Al-Qur’anul
Karim
Imam
an-Nawawi. Riyadlush ash-Shalihin, Syarah Shahih Muslim.
Beirut:Dar al-Fikr
Ash-Shon’ani.
t.t, Subulus Salaam, Syarah Bulughul Maraam Min Adillatil Ahkaam.Beirut:Dar al-Fikr
Hassan,
Ahmad. 1972. Tarjamah Bulughul Maraam. Bandung: CV. Diponegoro.
Syafei,
Rahmat. 2000. Al-Hadis Aqidah, Akhlaq, Sosial dan Hukum. Bandung : CV.
Pustaka Setia.
Alawi
Abbas al-Maliki dan Hasan Sulaiman al-Nuri. 2010. Ibanatul Ahkam Syarh
Bulughul Maram Min Adillatil
Ahkaam (terjemahan).Kuala Lumpur : Al-Hidayah Publication.
0 komentar:
Posting Komentar