آداب
المعلم والمتعلم
Adab Guru dan Adab Murid
Adab Guru dan Adab Murid
أما المتعلم
فينبغي له تقديم طهارة النفس عن رذائل الأخلاق ومذموم الصفات. إذ العلم عبادة
القلب.
وينبغي له قطع العلائق الشاغلة، فان الفكرة متى توزعت قصرت عن إدراك الحقائق.
وينبغي له قطع العلائق الشاغلة، فان الفكرة متى توزعت قصرت عن إدراك الحقائق.
Adapun adab bagi seorang murid ialah, murid
harus membersihkan jiwanya terlebih dahulu dari akhlak-akhlak yang hina dan
sifat-sifat yang tercela. Sebab ilmu itu ibadah hati. Dia harus melepaskan diri
dari berbagai kesibukan lain, sebab selagi pikiran bercabang-cabang, maka
kemampuannya menggali hakikat menjadi terbatas.
وقد كان السلف
يؤثرون العلم على كل شيء، فروى عن الإمام احمد رحمه الله انه لم يتزوج إلا بعد
الربعين.
Orang-orang salaf lebih mementingkan ilmu dari
pada hal-hal yang lain. Diriwayatkan dari Imam Ahmad, bahwa dia baru menikah
setelah berumur empat puluh tahun.
وعلى المتعلم أن يلقى زمامه إلي المعلم اللقاء
المريض زمامه إلي الطبيب، فيتواضع له، ويبالغ في خدمته.
Murid harus menyerahkan kendali dirinya kepada guru, seperti pasien yang menyerahkan penanganan dirinya kepada dokter. Karena itu dia harus merendahkan diri dan benar-benar menurut kepadanya.
Murid harus menyerahkan kendali dirinya kepada guru, seperti pasien yang menyerahkan penanganan dirinya kepada dokter. Karena itu dia harus merendahkan diri dan benar-benar menurut kepadanya.
وقد
كان ابن عباس رضي الله عنه يأخذ بركاب زيد بن ثابت رضي الله عنه ويقول: هكذا أمرنا
أن نفعل بالعلماء.
Ibnu Abbas ra, pernah memegangi tali kekang
hewan tunggangan Zaid bin Tsabit ra., seraya berkata, “Beginilah yang kami
lakukan terhadap orang yang berilmu.”
ومتى تكبر المتعلم
أن يستفيد من غير موصوف بالتقدم فهو جاهل، لأن الحكمة ضالة المؤمن أينما وجدها
أخذها، وليدع رأيه لرأى معلمه فان خطأ المعلم أنفع للمتعلم من صواب نفسه.
Selagi murid merasa sombong dengan tidak mau
mengambil manfaat dari orang yang mungkin kurang terkenal, maka dia adalah
orang yang bodoh, sebab hikmah adalah milik orang mukmin yang hilang. Selagi
barang itu sudah ditemukan, maka hendaklah dia segera mengambilnya. Hendaklah
dia menyerahkan pendapatnya kepada pendapat gurunya, jika guru salah, masih
lebih bermanfaat bagi murid dari pada murid merasa dirinya benar.
قال على رضي الله
عنه: إن من حق العالم عليك أن تسلم على القوم عامة، وتخصه بالتحية، وأن تجلس
أمامه، ولا تشير عنده بيدك، ولا تغمزن بعينك، ولا تكثر عليه السؤال، ولا تعينه في
الجواب، ولا تلح عليه إذا كسل، ولا تراجعه إذا امتنع، ولا تأخذ بثوبه إذا نهض، ولا
تفشى له سرا، ولا تغتابن عنده أحدا، ولا تطلبن عثرته، وان زل قبلت معذرته، ولا
تقولن له: سمعت فلانا يقول كذا، ولا أن فلانا يقول خلافك. ولا تصفن عنده عالما،
ولا تعرض من طول صحبته، ولا ترفع نفسك عن خدمته، وإذا عرضت له حاجة سبقت القوم
إليها، فإنما هو بمنزلة النخلة تنتظر متى يسقط عليك منها شيء.
Ali bin Abi Thalib ra. Berkata : “Diantara hak
orang yang berilmu atas dirimu ialah : Hendaklah engkau mengucapkan salam
kepada semua yang hadir (dalam majlisnya), member salam hormat secara khusus
kepadanya, duduk dihadapannya, tidak menunjuk dengan tangan ke arahnya, tidak
memandang secara tajam kepadanya, tidak terlalu banyak mengajukan pertanyaan,
tidak membantunya dalam memberikan jawaban, tidak memaksanya jika dia letih,
tidak mendebatnya jika dia tidak menginginkannya, tidak memegang bajunya jika
dia hendak bangkit, tidak membocorkan rahasianya, tidak menggunjingnya di
hadapan orang lain, tidak mencari-cari kesalahannya, jika ada salah bicara
harus dimaklumi, tidak boleh berkata dihadapannya “ Kudengar fulan berkata
begini, yang berbeda dengan pendapatmu”, jangan katakana di hadapannya bahwa
dia adalah seorang Ulama, jangan terus-menerus menyertainya, jangan
sungkan-sungkan untuk berbakti kepadanya, jika diketahui dia mempunyai suatu
keperluan, maka keperluannya harus segera dipenuhi. Kedudukan dirinya seperti
pohon kurma, sedang engkau menunggu-nunggu apa yang akan jatuh dirinya.”
وينبغي أن يحترز
الخائض في العلم في مبدأ الأمر من الإصغاء إلى اختلاف الناس، فإن ذلك يحير عقله
ويفتر ذهنه.
Orang yang menekuni suatu ilmu, sejak semula
jangan ada niat untuk tampil beda dengan orang lain, karena niat ini bias mengacaukan
pikirannya dan membuyarkan konsentrasinya.
وينبغي له أن يأخذ
من كل شيء أحسنه. لأن العمر لا يتسع لجميع العلوم، ثم يصرف جمام قوته إلى أشرف
العلوم، وهو العلم المتعلق بالآخرة، الذي به يكتسب اليقين الذي حصله
Dia harus mengambil yang terbaik dari segala
sesuatu. Sebab umurnya tidak memungkinkan untuk mendalami semua ilmu. Dia harus
membulatkan tekadnya untuk memilih ilmu yang paling baik, yang tak lain adalah
ilmu yang berkaitan dengan akhirat, yang dengan ilmu itu akan diperoleh
keyakinan.
وأما المعلم :
من ذلك الشفقة على المتعلمين، وأن
يجريهم مجرى بنيه، ولا يطلب على إفاضة العلم أجرا، ولا يقصد به جزاءا ولا شكرا، بل
يعلم لوجه الله تعالى، ولا يرى لنفسه منة على المتعلمين، بل يرى الفضل لهم إذ
هيؤوا قلوبهم للتقرب إلى الله تعالى بزارعة العلم فيها، فهم كالذي يعير الأرض لمن
يزرع فيها.
Adapun bagi seorang guru
ialah :
Guru mempunyai beberapa
tugas, diantaranya : Menyayangi, menuntunnya seperti menuntun anak sendiri,
tidak meminta imbalan uang, tidak mengharapkan balasan dan ucapan terima kasih,
dia harus mengajarkan ilmu karena mengharap ridho Allah, tidak melihat dirinya
lebih hebat dari murid-muridnya, tetapi dia mau melihat bahwa adakalanya mereka
lebih utama jika mempersiapkan hatinya untuk bertaqarrub kepada Allah dengan
cara menanam ilmu di dalam hatinya, harus melihat bahwa murid adalah seperti
sepetak tanah yang siap ditanami.
فلا ينبغي أن
يطلب المعلم الأجر إلا من الله تعالى. وقد كان السلف يمتنعون من قبول هدية المتعلم. ومنها أن لا يدخر
من نصح المتعلم شيئا، وأن يزجره عن سوء الأخلاق بطريق التعريض مهما أمكن، لا على
وجه التوبيخ، فإن التوبيخ يهتك حجاب الهيبة.
Tidak selayaknya bagi guru
untuk meminta balasan kecuali dari Allah semata. Bahkan orang-orang salaf
menolak jika ada murid yang memberinya hadiah. Guru tidak boleh menyimpan
nasihat yang seharusnya diberikan kepada murid walau sedikitpun, harus
memperingatkannya dari akhlak yang buruk dengan cara yang sehalus-halusnya, dan
tidak boleh mendampratnya, karena dampratan itu justru akan mengurangi pamor
dirinya.
ومنها: أن ينظر
في فهم المتعلم ومقدار عقله، فلا يلقي إليه مالا يدركه فهمه ولا يحيط به عقله.
Guru harus mengetahui tingkat pemahaman murid dan kapasitas
dirinya, tidak boleh menyampaikan pelajaran di luar kesanggupan akalnya.
فقد روي عن النبي صلى الله عليه وآله
وسلم أنه قال: “أمرت أن أخاطب الناس على قدر عقولهم”
Diriwayatkan dari Nabi Saw., beliau bersabda : “aku
diperintahkan untuk berbicara dengan manusia menurut kadar pemikiran pemikiran
mereka.”[1]
ومنها: أن يكون المعلم عاملا بعلمه. ولا
يكذب قوله فعله. قال الله تعالى: أتأمرون الناس
بالبر وتنسون أنفسكم وأنتم تتلون الكتاب
Guru harus berbuat sesuai
dengan ilmunya, tidak mendustakan antara perkataan dan perbuatan. Allah Ta’ala
berfirman : “Mengapa kalian suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang
kalian melupakan diri (kewajiban) kalian sendiri, padahal kalian membaca
Al-Kitab ?” [QS. Al-Baqarah : 44]
Sumber Tulisan :
Imam Ahmad bin Muhammad bin Abdirrahman Ibnu
Qudamah al-Maqdisiy. 2000. Mukhtashar Minhajul Qashidin. Maktab Islamiy
: Bayrut. Hal. 29-31.
Imam Ahmad bin
Muhammad bin Abdirrahman Ibnu Qudamah al-Maqdisiy. 2010. Mukhtashar Minhajul
Qashidin [Jalan Orang-orang yang Mendapat Petunjuk]. Pustaka Al-Kautsar :
Jakarta. Penerjemah Oleh : Kathur Suhardi. Hal. 17-19
[1] Hadits ini
tidak mempunyai dasar, hadits marfu’. Tetapi disebutkan di dalam shahih
al-Bukhari, 1/99, sebagai catatan pinggir dalam masalah ilmu, bab orang-orang
yang menyampaikan ilmu khusus kepada orang lain, yang dikhawatirkan mereka
memahaminya, yang berasal dari perkataan Ali bin Abu Thalib.
0 komentar:
Posting Komentar