10.59

Adab Guru dan Murid


آداب المعلم والمتعلم
Adab Guru dan Adab Murid

أما المتعلم فينبغي له تقديم طهارة النفس عن رذائل الأخلاق ومذموم الصفات. إذ العلم عبادة القلب.
وينبغي له قطع العلائق الشاغلة، فان الفكرة متى توزعت قصرت عن إدراك الحقائق.
Adapun adab bagi seorang murid ialah, murid harus membersihkan jiwanya terlebih dahulu dari akhlak-akhlak yang hina dan sifat-sifat yang tercela. Sebab ilmu itu ibadah hati. Dia harus melepaskan diri dari berbagai kesibukan lain, sebab selagi pikiran bercabang-cabang, maka kemampuannya menggali hakikat menjadi terbatas.
وقد كان السلف يؤثرون العلم على كل شيء، فروى عن الإمام احمد رحمه الله انه لم يتزوج إلا بعد الربعين.
Orang-orang salaf lebih mementingkan ilmu dari pada hal-hal yang lain. Diriwayatkan dari Imam Ahmad, bahwa dia baru menikah setelah berumur empat puluh tahun. 

وعلى المتعلم أن يلقى زمامه إلي المعلم اللقاء المريض زمامه إلي الطبيب، فيتواضع له، ويبالغ في خدمته.             
Murid harus menyerahkan kendali dirinya kepada guru, seperti pasien yang menyerahkan penanganan dirinya kepada dokter. Karena itu dia harus merendahkan diri dan benar-benar menurut kepadanya.

وقد كان ابن عباس رضي الله عنه يأخذ بركاب زيد بن ثابت رضي الله عنه ويقول: هكذا أمرنا أن نفعل بالعلماء.
Ibnu Abbas ra, pernah memegangi tali kekang hewan tunggangan Zaid bin Tsabit ra., seraya berkata, “Beginilah yang kami lakukan terhadap orang yang berilmu.”

 ومتى تكبر المتعلم أن يستفيد من غير موصوف بالتقدم فهو جاهل، لأن الحكمة ضالة المؤمن أينما وجدها أخذها، وليدع رأيه لرأى معلمه فان خطأ المعلم أنفع للمتعلم من صواب نفسه.
Selagi murid merasa sombong dengan tidak mau mengambil manfaat dari orang yang mungkin kurang terkenal, maka dia adalah orang yang bodoh, sebab hikmah adalah milik orang mukmin yang hilang. Selagi barang itu sudah ditemukan, maka hendaklah dia segera mengambilnya. Hendaklah dia menyerahkan pendapatnya kepada pendapat gurunya, jika guru salah, masih lebih bermanfaat bagi murid dari pada murid merasa dirinya benar.

قال على رضي الله عنه: إن من حق العالم عليك أن تسلم على القوم عامة، وتخصه بالتحية، وأن تجلس أمامه، ولا تشير عنده بيدك، ولا تغمزن بعينك، ولا تكثر عليه السؤال، ولا تعينه في الجواب، ولا تلح عليه إذا كسل، ولا تراجعه إذا امتنع، ولا تأخذ بثوبه إذا نهض، ولا تفشى له سرا، ولا تغتابن عنده أحدا، ولا تطلبن عثرته، وان زل قبلت معذرته، ولا تقولن له: سمعت فلانا يقول كذا، ولا أن فلانا يقول خلافك. ولا تصفن عنده عالما، ولا تعرض من طول صحبته، ولا ترفع نفسك عن خدمته، وإذا عرضت له حاجة سبقت القوم إليها، فإنما هو بمنزلة النخلة تنتظر متى يسقط عليك منها شيء.
Ali bin Abi Thalib ra. Berkata : “Diantara hak orang yang berilmu atas dirimu ialah : Hendaklah engkau mengucapkan salam kepada semua yang hadir (dalam majlisnya), member salam hormat secara khusus kepadanya, duduk dihadapannya, tidak menunjuk dengan tangan ke arahnya, tidak memandang secara tajam kepadanya, tidak terlalu banyak mengajukan pertanyaan, tidak membantunya dalam memberikan jawaban, tidak memaksanya jika dia letih, tidak mendebatnya jika dia tidak menginginkannya, tidak memegang bajunya jika dia hendak bangkit, tidak membocorkan rahasianya, tidak menggunjingnya di hadapan orang lain, tidak mencari-cari kesalahannya, jika ada salah bicara harus dimaklumi, tidak boleh berkata dihadapannya “ Kudengar fulan berkata begini, yang berbeda dengan pendapatmu”, jangan katakana di hadapannya bahwa dia adalah seorang Ulama, jangan terus-menerus menyertainya, jangan sungkan-sungkan untuk berbakti kepadanya, jika diketahui dia mempunyai suatu keperluan, maka keperluannya harus segera dipenuhi. Kedudukan dirinya seperti pohon kurma, sedang engkau menunggu-nunggu apa yang akan jatuh dirinya.” 

وينبغي أن يحترز الخائض في العلم في مبدأ الأمر من الإصغاء إلى اختلاف الناس، فإن ذلك يحير عقله ويفتر ذهنه.
 Orang yang menekuni suatu ilmu, sejak semula jangan ada niat untuk tampil beda dengan orang lain, karena niat ini bias mengacaukan pikirannya dan membuyarkan konsentrasinya.

وينبغي له أن يأخذ من كل شيء أحسنه. لأن العمر لا يتسع لجميع العلوم، ثم يصرف جمام قوته إلى أشرف العلوم، وهو العلم المتعلق بالآخرة، الذي به يكتسب اليقين الذي حصله
Dia harus mengambil yang terbaik dari segala sesuatu. Sebab umurnya tidak memungkinkan untuk mendalami semua ilmu. Dia harus membulatkan tekadnya untuk memilih ilmu yang paling baik, yang tak lain adalah ilmu yang berkaitan dengan akhirat, yang dengan ilmu itu akan diperoleh keyakinan.

وأما المعلم :
من ذلك الشفقة على المتعلمين، وأن يجريهم مجرى بنيه، ولا يطلب على إفاضة العلم أجرا، ولا يقصد به جزاءا ولا شكرا، بل يعلم لوجه الله تعالى، ولا يرى لنفسه منة على المتعلمين، بل يرى الفضل لهم إذ هيؤوا قلوبهم للتقرب إلى الله تعالى بزارعة العلم فيها، فهم كالذي يعير الأرض لمن يزرع فيها.

Adapun bagi seorang guru ialah :
Guru mempunyai beberapa tugas, diantaranya : Menyayangi, menuntunnya seperti menuntun anak sendiri, tidak meminta imbalan uang, tidak mengharapkan balasan dan ucapan terima kasih, dia harus mengajarkan ilmu karena mengharap ridho Allah, tidak melihat dirinya lebih hebat dari murid-muridnya, tetapi dia mau melihat bahwa adakalanya mereka lebih utama jika mempersiapkan hatinya untuk bertaqarrub kepada Allah dengan cara menanam ilmu di dalam hatinya, harus melihat bahwa murid adalah seperti sepetak tanah yang siap ditanami.

 فلا ينبغي أن يطلب المعلم الأجر إلا من الله تعالى. وقد كان السلف يمتنعون من قبول هدية المتعلم. ومنها أن لا يدخر من نصح المتعلم شيئا، وأن يزجره عن سوء الأخلاق بطريق التعريض مهما أمكن، لا على وجه التوبيخ، فإن التوبيخ يهتك حجاب الهيبة.

Tidak selayaknya bagi guru untuk meminta balasan kecuali dari Allah semata. Bahkan orang-orang salaf menolak jika ada murid yang memberinya hadiah. Guru tidak boleh menyimpan nasihat yang seharusnya diberikan kepada murid walau sedikitpun, harus memperingatkannya dari akhlak yang buruk dengan cara yang sehalus-halusnya, dan tidak boleh mendampratnya, karena dampratan itu justru akan mengurangi pamor dirinya.
ومنها: أن ينظر في فهم المتعلم ومقدار عقله، فلا يلقي إليه مالا يدركه فهمه ولا يحيط به عقله.
Guru harus mengetahui tingkat pemahaman murid dan kapasitas dirinya, tidak boleh menyampaikan pelajaran di luar kesanggupan akalnya.

فقد روي عن النبي صلى الله عليه وآله وسلم أنه قال: “أمرت أن أخاطب الناس على قدر عقولهم”

Diriwayatkan dari Nabi Saw., beliau bersabda : “aku diperintahkan untuk berbicara dengan manusia menurut kadar pemikiran pemikiran mereka.”[1]

ومنها: أن يكون المعلم عاملا بعلمه. ولا يكذب قوله فعله. قال الله تعالى: أتأمرون الناس بالبر وتنسون أنفسكم وأنتم تتلون الكتاب

Guru harus berbuat sesuai dengan ilmunya, tidak mendustakan antara perkataan dan perbuatan. Allah Ta’ala berfirman : “Mengapa kalian suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kalian melupakan diri (kewajiban) kalian sendiri, padahal kalian membaca Al-Kitab ?” [QS. Al-Baqarah : 44]

Sumber Tulisan :
Imam Ahmad bin Muhammad bin Abdirrahman Ibnu Qudamah al-Maqdisiy. 2000. Mukhtashar Minhajul Qashidin. Maktab Islamiy : Bayrut. Hal. 29-31.
Imam Ahmad bin Muhammad bin Abdirrahman Ibnu Qudamah al-Maqdisiy. 2010. Mukhtashar Minhajul Qashidin [Jalan Orang-orang yang Mendapat Petunjuk]. Pustaka Al-Kautsar : Jakarta. Penerjemah Oleh : Kathur Suhardi. Hal. 17-19


[1] Hadits ini tidak mempunyai dasar, hadits marfu’. Tetapi disebutkan di dalam shahih al-Bukhari, 1/99, sebagai catatan pinggir dalam masalah ilmu, bab orang-orang yang menyampaikan ilmu khusus kepada orang lain, yang dikhawatirkan mereka memahaminya, yang berasal dari perkataan Ali bin Abu Thalib.

0 komentar: