Bismillah. . .
Leubar ada pembahasan yang menarik nih [Catat dulu ah, bilih kaburu lupa], dalam buku “ Wajah Peradaban Barat Dari Hegemoni Kristen Ke Dominasi Sekular-Liberal” Karya DR. Adian Husaini. Langsung saja pada halaman 243 disebutkan tentang Hakikat Peradaban Barat, Penasaran? Ini penjelasannya :
Secara Lebih Sederhana, hakikat peradaban Barat dijelaskan al-Attas dalam buku Risalah untuk Kaum Muslimin,
“Biasanya yang disebutkan orang sebagai kebudayaan Barat itu adalah hasil warisan yang telah dipupuk oleh bangsa-bangsa Eropah dari Kebudayaan Yunani kuno yang kemudian diadun pula dengan campuran Kebudayaan Rumawi dan unsur-unsur lain dari hasil cita rasa dan gerak-daya bangsa-bangsa eropah sendiri, khususnya dari suku-suku bangsa Jerman, Inggris dan Perancis.
Dari kebudayaan Yunani Kuno mereka telah melakukkan dasar-dasar falsafah kenegaraan serta pendidikan dan ilmu pengetahuan dan kesenian; dari Kebudayaan Rumawi Purbakala mereka telah merumuskan dasar-dasar undang-undang dan hukum serta ketatanegaraan. Agama Kristian, sungguhpun Berjaya memasuki benua Eropah, namun tiada juga meresap ke dalam kalbu Eropah. Justru sesungguhnya agama yang berasal dari Asia Barat dan merupakan, pada tafsiran aslinya , bukan agama baharu tetapi suatu terusan dari Agama Yahudi itu, telah diambil-alih dan dirobah-ganti oleh kebudayaan Barat demi melayani ajaran-ajaran dan kepercayaan yang telah lama diantunya sebelum kedatangan “agama Kristian”.
Mereka telah mencampuradukkan ajaran-ajaran yang kemudian menjelam sebagai agama Kristian dengan kepercayaan-kepercayaan kuno Yunani dan Rumawi, dan Mesir dan Farsi juga anutan-anutan golongan kaum Biadab.[1]
Dengan sifat dan posisi agama Kristen, sebagai agama mayoritas bangsa Barat, semacam itu, maka kebudayaan Barat sejatinya bukanlah berdasarkan pada agama, tetapi pada falsafah. Dalam hal ini, pandangan al-Attas sejalan dengan pandangan Iqbal, Sayyid Quthb, Ali an-Nadwi, Muhammad Asad, dan banyak cendikiawan Muslim lainnya. Namun, pandangan al-Attas tentang peradaban Barat ini tampak lebih mendalam dan sistematis, yaitu ketika ia berhasil meramu unsur-unsur pembentuk peradaban Barat itu dengan proporsional, terutama ketika mendudukkan posisi warisan Yunani Kuno, Romawi, dan Kristen dalam peradaban Barat. Dengan mengesampingkan agama dan menjadikan falsafah sebagai asas berpikirnya, maka tiada tempat dalam jiwa pengalaman mereka itu beragama sesuatu ketetapan mengenai keyakinan. Mereka hanya menegaskan dasar “teori” yaitu ilmu pengetahuan atau hasil akal-nazari yang berlandaskan dugaan dan sangkaan-sangkaan dan pencapaian akal jasmani yang mungkin benar dan mungkin tidak benar. Maka dari itu, dasar ‘ilmu yang demikian dan sikap hidup yang menjadi akibatnya, tiadalah akan dapat membawa kepada keyakinan. Sifat agama Kristen itu sendiri, yang problematic dalam asas-asas kepercayaannya, menurut al-Attas, juga turut membentuk sikap peradaban Barat. Secara singkat, al-Attas menyimpulkan sifat-sifat asasi Kebudayaan Barat, yaitu:
1) Berdasarkan falsafah dan bukan agama,
2) falsafah yang menjelmakan sifatnya sebagai humanism, mengikrarkan faham penduaan (dualisme) yang mutlak dan bukan kesatuan sebagai nilai serta kebenaran hakikat semesta, dan
3) kebudayaan Barat juga berdasarkan pandanagan hidup yang Tragic. Yakni, mereka menerima pengalaman ‘kesengsaraan hidup’ sebagai suatu kepercayaan yang mutlak yang mempengaruhi peranan manusia dalam dunia. Al-Attas menjelaskan tentang konsep “Tragedi” dalam peradaban Barat.[2]
“Sedari zaman Yunani Kuno lagi kita lihat bahawa bangsa-bangsa Yunani itu menganngap tragedy sebagai satu unsur penting kehidupan manusia: bahawa manusia ini merupakan pelakon dalam drama kehidupan dan pahlawan-pahlawannya membayangkan watak tragic. Faham tragedy kehidupan ini disebabkan oleh kehampaan kalbu akan nikmat iman.
Kehampaan iman ini adalah akibat dari falsafah penduaan mutlak yang mengikrarkan adanya dua hakikat yang saling bertentangan satu sama yang lain hingga menimbulkan syak serta ketegangan jiwa. Keadaan jiwa yang tiada tenteram ini mengakibatkan pula perasaan takut dan sedih menenangkan nasib dirinya. Keadaan jiwa yang tegang ini jugalah yang menganjurkan orang Barat, yang mensifatkan kebudayaannya, untuk mencari jawapan bagi soal-soal abadi, untuk giat berusaha menyelidik dan mengkaji dan mereka teori-teori baharu, mengemukakan masalah-masalah asal-usul alam dan manusia dan lain-lain renungan yang dianggapnya sebagai ilmu pengetahuan—terus madang mencari dengan tiada akhirnya!
Pengembaraan dalam alam pikiran dan renungan yang tiada berakhir ini merupakan semangat kebudayaan Barat, dan sesungguhnya mereka tiada ingin mengakhirkan pengembaraan itu justru sebab pengembaraan itu sekurang-kurangnya meringankan beban kekosongan dan kesunyian kalbu, seolah-olah bagai penawar hati yang tegang. Semangat kebudayaan Barat itu membayangkan suatu yang ‘menjadi’ tetapi tiada juga ‘jadi’.”[3]
Dengan memahami hakikat peradaban Barat yang tidak berdasarkan agama dan hanya berdasarkan spekulasi semacam itu, al-Attas sampai pada kesimpulan bahwa problem terberat yang dihadapi manusia dewasa ini adalah hegemoni dan dominasi keilmuan Barat yang mengarah pada kehancuran umat manusia. Satu fenomena yang belum pernah terjadi dalam sejarah umat manusia.[4]
Sekian, mudah-mudahan penjelasan di atas bisa bermanfaat bagi kita semua.
Sumber : Adian Husaini. 2005. Wajah Peradaban Barat Dari Hegemoni Kristen Ke Dominasi Sekular-Liberal. Jakarta : Gema Insani Press.
Sumber : Adian Husaini. 2005. Wajah Peradaban Barat Dari Hegemoni Kristen Ke Dominasi Sekular-Liberal. Jakarta : Gema Insani Press.
[1] Naquib al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, hlm 18. Dalam Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat Dari Hegemoni Kristen Ke Dominasi Sekular-Liberal, hal 243.
[2] Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat Dari Hegemoni Kristen Ke Dominasi Sekular-Liberal, hal 244.
[3] Naquib al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, hal. 21-22 dalam Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat Dari Hegemoni Kristen Ke Dominasi Sekular-Liberal, hal 245.
[4] Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat Dari Hegemoni Kristen Ke Dominasi Sekular-Liberal, hal 245.
0 komentar:
Posting Komentar